Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Alhamdulillah, kita semua masih berada dalam luasnya rahmat Allah S.W.T. InsyaAllah entri pada kali ini akan merungkaikan serba sedikits berkenaan dengan organisasi yang mana kita semua sedia maklum bahawa ia merupakan salah satu cabang kepada gerakan kerja secara berkumpulan atauwa jamaah.
Kerap kali kita lakukan mesyuarat, betul atau tidak? Ha, sudah pasti bermacam-macam perkara yang kita jumpa bila berada dalam sesi mesyuarat ni, dengan ragam ahlinya la, dengan idea-idea yang tidak disangka-sangka pun ada, dan yang senyap dari awal mesyuarat hinggalah tamatnya mesyuarat pun ada! Apa-apa pun, ambo nak tekankan sedikit di sini bahawa sebenarnya dalam sesebuah organisasi itu, mesyuarat adalah merupakan satu perkara yang sangat penting yang mana daripada mesyuaratlah kita semua bergabung tenaga dan fikiran untuk sama-sama memikirkan penyelesaian sesuatu masalah atauwa untuk merancang sesuatu gerak kerja supaya sesuatu program atau sebarang tindakan yang bakal kita lakukan dan laksanakan selepas ini pastinya dalam keadaan lancar, tersusun dan insyaAllah masih mengikut syariat agama kita yang tercinta iaitu Islamiddiinil haq.
Apa itu mesyuarat (BM) / Musyawarah (Arab)?
Al-Razi menyatakan, al-musywarah adalah al-syura, demikian juga al-masyurah. Asal kata musyawarah berasal dari kata (ش- و- ر) yang pada mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.Sedangkan kata (مشاورة) yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja شاور- يشاور berarti meminta pendapat, meminta nasihat atau petunjuk. Sedangkan al-Mahally mengartikan mengeluarkan pendapat.
Secara istilah, Ibn al-’Arabi berkata, sebagian ulama berpendapat bahwa musyawarah adalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada dalam dirinya.
Sedangkan al-Alusi menulis dalam kitabnya, bahwa al-Raghib berkata, musyawarah adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat yang lain untuk mendapat satu pendapat yang disepakati.
Dengan demikian musyawarah adalah berkumpulnya manusia untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing mengeluarkan pendapatnya kemudian diambil pendapat yang disepakati bersama.
Musyawarah pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya, yaitu mengeluarkan madu. Oleh karena itu unsur-unsur musyawarah yang harus dipenuhi adalah; a) Al-Haq; yang dimusyawarahkan adalah kebenaran, b) Al-’Adlu; dalam musyawarah mengandung nilai keadilan, c) Al-Hikmah; dalam musyawarah dilakukan dengan bijaksana.
Lecehlah nak mesyuarat ni, sibuk ni, banyak benda nak buat..boleh ke kalau tak payah buat?
Pernah jumpa tak, dalam mana-mana organisasi, sesuatu perkara itu diputuskan, atau ditetapkan tanpa berbincang melalui musyawarah dengan anggota organisasi yang lain? Ha, meh cni nak ghoyat sikit, musyawarah ni merupakan salah satu ibadah terpenting. Oleh sebab itu, masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan musyawarah dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap salah satu bentuk ibadah. Nak ke kita ini dianggap sebagai masyarakat yang cacat?
Mesyuarat dilaksanakan, tapi tidak melibatkan ahli-ahli yang lain yang sepatutnya ada dalam sesi musyawarah tersebut. Dalam erti kata lainnya, mesyuarat berdua atau bertiga je..Komen sikit..
Dalam musyawarah diperlukan beberapa anggota untuk memecahkan persoalah yang dihadapi. Dengan mengikutsertakan anggota-anggota masyarakat dalam permusyawaratan selain akan menambah idea demi kesempurnaan suatu pemecahan masalah atau suatu perkara, para peserta juga dapat melepaskan suatu yang terpendam dalam hatinya sehingga bebas dari ketidakpuasan dan sekaligus terciptanya rasa memiliki terhadap keputusan tersebut. Perasaan ini biasanya berlanjut pada pertanggungjawaban.
Dalam musyawarah tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat,tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para pakar diistilahkan Ahl al-Hal wa al-’Aqd atauAhl al-Ijtihad atau Ahl al-Syura.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, dalam urusan hukum agama seharusnya orang yang berilmu. Sedangkan dalam urusan dunia orang yang diajak musayawarah adalah orang yang berakal (mengerti dalam perkara yang dibicarakan).
Imam syafi’ie mengatakan, orang yang diajak musyawarah adalah orang yang berilmu dan juga dapat dipercaya.Oleh karenanya, tidak sepatutnya mengajak orang bodoh (tidak mengerti permasalahan) untuk musyawarah, karena tidak ada manfaatnya dan juga tidak mengajak orang yang berilmu tapi tidak dapat dipercaya, karena bisa saja dia malah menyesatkan. Rasulullah bersabda,
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ. (رواه أبو داود و صححه البانى)
“Yang diajak bermusyawarah (diminta pendapatnya) adalah orang yang dapat dipercaya.”
Kalau terdapat banyak percanggahan pendapat dalam masyuarat, macam mana? Pendapat yang mana yang didahulukan? Ke nak ikut pendapat majoriti?
Berikut merupakan 4 cara untuk membuat keputusan:-
- Pendapat jenis pertama landasan pengambilan keputusannya adalah kekuatan dalil.
Dalam kes perjanjian hudaybiyah Rasulullah justru mengambil pendapat yang bertentangan dengan pendapat semua sahabat, bahkan Abu Bakr dan Umar.
Umar: “Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Bukankah kita ini Muslimin?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”
Abu Bakr: “Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia Rasulullah.”
Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya pembicaraan itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Nabi berkata:
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Saya hamba Allah dan RasulNya. Saya takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya.” (HR Bukhari)
- Pendapat jenis kedua dan ketiga landasan pengambilan keputusannya adalah ketepatan atau kesesuaian dengan fakta yg didefinisikan.
Dalam perang Badar, ketika Nabi dan kaum Muslim sama-sama singgah di sebuah tempat yang berdekatan dengan mata air di daerah Badar. Hubab bin al-Munzhir keberatan singgah (dan mendirikan pos) di tempat tersebut, lalu ia berkata kepada Rasul, ‘‘Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menganggap bahwa tempat singgah ini telah diwahyukan oleh Allah kepadamu sehingga tidak ada hak bagi kami untuk mendahului maupun mundur darinya? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya saja? Kemudian Rasul menjawab: ‘Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya’. Maka Hubab bin al-Munzhir berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini bukanlah tempat singgah yang layak’. Kemudian dia menunjukkan suatu tempat. Rasulullah tidak lagi berdiam diri langsung berdiri bergegas bersama-sama dengan yang lain mengikuti pendapat Hubab bin al-Munzhir.’ (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam hal 598)
Dalam kes ini Rasul meninggalkan pendapatnya dan juga tidak kembali kepada pendapat para jama’ah (majoriti), melainkan mengikuti pendapat yang benar. Sehingga cukup pengambilan dari satu orang sesuai dengan persoalan yang disabdakan Rasul: Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya.
Dalam perang Ahzab (Khandaq/parit) Rasulullah saw bermusyawarah dengan Pemimpin Aus dan khazraj (Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah) tentang perdamaian yang akan Beliau lakukan dengan Bani Ghathafan untuk memecahkan kekuatan pasukan sekutu kafir Quraisy. Kedua sahabat itu berkata: ”Wahai Rasulullah, jika usulan itu datangnya dari langit (wahyu) maka laksanakanlah! Namun apabila usulan itu masih bisa di ubah dengan apa yang anda perintahkan, maka keputusan kami serahkan sepenuhnya kepada anda. Kami hanya bisa patuh dan melaksanakannya. Akan tetapi jika usulan tersebut hanya sekedar usulan yang masih mungkin untuk dimusyawarahkan lagi, maka pilihan kami hanyalah pedang (berperang)” Rasulullah bersabda: ”Jika memang Allah memerintahkan hal itu kepada diriku, pasti aku tidak akan mengajak kalian berdua untuk bermusyawarah” (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam hal 190)
- Pendapat jenis keempat landasan pengambilan keputusannya adalah suara mayoritas.
Rasulullah bersabda kepada Abu Bakr dan Umar:
لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا
Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil permufakatan (masyurah), maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua. (HR Ahmad)
Dalam kes perang uhud, Rasulullah saw telah mengumpulkan para pakar (pemuka) dari kaum Muslim termasuk orang yang seakan-akan tampak ke-Islamannya (munafik-pen) dan mereka bermusyawarah. Lalu Nabi saw berpendapat bahawa lebih baik mereka berjaga-jaga (bertahan) di kota Madinah dan membiarkan pasukan Quraisy berada diluar Madinah. Pimpinan kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul berpendapat seperti pendapat Nabi, dan pendapat seperti ini juga dianut para pemuka sahabat. Tetapi ada pendapat dari kalangan pemuda dan orang-orang yang memiliki semangat pembelaan yang kuat yang tidak hadir pada perang Badar dan juga yang telah ikut perang badar dan menang, yang berpendapat lebih baik keluar (Madinah) untuk menyongsong dan melawan musuh. Maka muncullah majoriti yang menyokong pendapat para pemuda tadi sehingga Rasul menyetujui pendapat mereka dan mengikuti pendapat majoriti. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw menyetujui pendapat majoriti dan beramal sesuai dengan pendapat tersebut serta meninggalkan pendapatnya dan pendapat para pemuka sahabat, karena mereka berada pada posisi minoriti, hingga orang-orang menyesal (karena tidak sependapat dgn Rasulullah) lalu mereka pergi menghadap Rasulullah dan berkata: “Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan.” Nabi tetap menolak permintaan mereka : Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”
Oleh itu, ingin ambo menegaskan disini, tidak kiralah dalam organisasi apa pun, amalkanlah sistem syura. Mungkin kita rasa tidak perlu untuk melibatkan anggota jamaah yang lain, tapi kita kena ingat, pemikiran kita berbeza-beza, mana tau ada lagi pendapat yang lebih terbaeeeeekkkk la orang kampung ambo kata. Pandangan-pandangan yang pelbagai ini perlu digarap dan diharmonikan untuk mengeluarkan satu keputusan yang benar-benar MATANG demi KEPENTINGAN BERSAMA..
Menyingkirkan prinsip syura dengan cara memberhentikan syura dan tidak mempraktikkannya di pihak pimpinan atau oleh pihak yang bertanggungjawab pada tempatnya yang wajar walau pun ia mempunyai keupayaan dan pengetahuan dikira sebagai satu PENYELEWENGAN dari prinsip asal. Begitu juga dengan sambutan negatif dari pihak anggota yang tidak mahu memberi pendapat dan pandangan serta nasihat kepada yang bertanggungjawab dan tidak mahu menyedari bahawa mereka juga ada bahagian tanggungjawab dalam masalah berkenaan. Ini juga dikatakan sebagai penyelewengan kerana MENYINGKIRKAN PRINSIP SYURA!
ReplyDelete-Mustafa Masyhur-